Cinta Seorang Penghafal Al-Qur’an

by -1305 Views

“Kring!”

Alarm jam beker berbunyi nyaring tepat di telinga kanan. Aku raih jam beker itu, ku tekan tombol off mematikan bunyi. Aku bangun dari tempat tidur.

Kuluruskan anggota tubuhku. Aku menuju kamar mandi membersihkan badan lalu mengambil wudhu. Pukul 03.00 dini hari aku sholat tahajud sesudahnya aku tunaikan Sholat Istikharah.

Aku lantunkan wirid dan doa. Doa khusus untuk masa depanku. Aku yang tengah dilanda dilema selama seminggu. Sejak orang tuaku menjodohkanku dengan Aziz.

Aziz adalah anak kerabat ibu. Niatan perjodohan itu semakin mendekati hari tunangan pada tanggal 8 Februari. Sementara hari ini tanggal 1 Februari tersisa satu minggu lagi.

Keraguan bergelayut di pikiranku. Aku tak mengenal Aziz. Kata ibu, dia lulusan pondok pesantren di Jawa Timur. Meski dia tidak mengenyam pendidikan formal.

Tapi dia sudah menjadi tangan kanan pak kyai. Ketinggian ilmu agamanya menjadikan dia diangkat menjadi ketua yayasan berbasis agama.

Kalau dihitung-hitung 80% Aziz telah memenuhi syarat lelaki idaman. Tapi lagi-lagi ada keraguan di hatiku. Aku masih menimbang-nimbang antara melanjutkan S2 atau bekerja.

Lulus dari S1 aku sudah mendaftar studi S2. Sembari menunggu hari masuk kuliah aku menghabiskan waktu di ponpes. Dengan mengaji dan menghafal ayat Al-Qur’an.

Aku bisa saja menolak perjodohan orang tua dengan alasan merampungkan hafalan. Namun nasehat ustadku, mensegerakan menikah bagi wanita yang cukup umur adalah ibadah. Keputusan kini di tanganku. Orang tuaku menyarankan dan tidak memaksakan.

“Ping!”

BBMku berbunyi. Tertulis pesan dari ustadzah Voni untuk setor hafalan pukul 09.00 pagi di aula pondok pesantren. Aku rapikan sajadahku. Tanpa sadar sajadah itu basah karena rembesan air mataku yang menetes saat aku bermunajat kepada Ilahi.

Waktu menunjukan pukul 04.00 dini hari. Aula ponpes pesantren putri mulai ramai. Santri-santri mulai berdatangan. Mereka hendak menegakan sholat Subuh dan menghafal setoran hafalan.

Seusai sholat Subuh berjamaah. Aku membuka Al-Qur’an surat Al- Baqarah mengulang hafalan juz 2. Selama setengah jam, aku larut menghafal kalam Ilahi. Lambat laun kantuk menyerangku.

xxx

Mba Voni sudah menunggu di aula pondok. Aku merasa bersalah membuatnya menunggu. Dan tidak biasanya aku terlambat seperti ini. Aku buru-buru masuk ke aula.

“Maaf Ustadzah saya terlambat karena ketiduran”.
” Iya tidak apa-apa, Dev. Mungkin kamu terlalu capek. Kurang istirahat ya?”
“Iya akhir-akhir ini, saya gelisah. Padahal saya sudah memperbanyak ibadah. Memohon petunjuk kepada Allah”.
“Iya sudah sabar dan istiqomah. Insya Allah akan beri jawabannya. Silahkan dibaca hafalanmu”.

Pukul 09.00 setoranku kepada Ustadzah Voni selesai. Setoranku hari ini yang paling buruk. Banyak lupa di bagian ayat yang sempat ku hafal.

Ustadzah Voni menyuruhku semakin bertaqorub kepada Allah SWT. melimpahkan segala urusan kepada pemiliknya.

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan memberikan jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga”, kata Ustadzah Voni yang selalu tergiang-ngiang di telingaku.

Soal perjodohan itu Ustadzah Voni tidak memaksaku, dia yang sedang menempuh S2 pun belun menikah. Aku tidak mau membuka luka lama Ustadzah Voni. Dia sempat gagal menikah dua kali.

Entah karena alasan apa. Tapi aku tahu ada trauma hebat yang dialaminya. Di balik senyum manisnya itu menyimpan luka. Sebuah luka yang coba dia sembunyikan. Sebagai seorang wanita aku memahami apa yang Ustadzah Vonni rasakan.

“Jodoh itu urusan Allah SWT, bersabarlah dan selalu istiqomah. Insya Allah, pada saat yang tepat Allah SWT akan mempertemukan jodoh denganmu,” kata Ustadzah Vonni. Nasehat yang berlaku untuk dirinya juga. Saat aku curhat perjodohanku dengan Aziz.

Sejenak aku lupakan antara mimpi S2 ku dengan perjodohanku. Aku ingin merefresh pikiranku. Salah satu ketenanganku dengan wisata buku.

Aku kayuh sepeda menyusuri jalan Jenderal Soedirman. Tempat toko buku terletak di dekat alun-alun kota. Setengah jam kemudian aku sampai di toko buku.

Lautan buku terhampar di hadapanku. Tumpukan-tumpukan buku itu seolah melambaikan tangan padaku. Perhatianku tertarik pada kumpulan buku agama.

Kaki ku melangkah pada box buku agama. Al-Qur’an, kitab dan buku agama dengan berbagai judul. Aku bolak-balik memilih buku itu. Aku beralih berusaha meraih buku bersampul biru yang berada di rak pojok.

“Maaf!”

Tanganku bertubrukan dengan tangan orang lain. Aku langsung menarik tanganku.

“Maaf!”, kataku.

Aku mendongakan kepalaku. Sesosok laki-laki berbaju koko dengan celana hitam panjang berdiri di hadapanku.
Dengan sedikit malu, aku tundukan kepalaku kembali.

“Silahkan mbak, yang ambil Riyadus Salihin itu, maaf saya tidak melihat sekeliling tadi. Tidak tahu, ada yang mau ambil juga”.
“Tidak apa-apa mas, saya juga minta maaf”.
Aku mengambil buku kumpulan isi kitab Riyadus Shalihin itu.
“Terima kasih, maaf saya permisi dulu”, kataku.
“Silahkan. Wa’alaykumsalam hati-hati ukhty.”

Aku keburu membalikan badan. Kalimat salam laki-laki itu aku jawab di dalam hati.

Untuk pertama kalinya tanganku bersentuhan dengan tangan laki-laki yang bukan mahram. Selama studi kuliah dan mengaji di ponpes antara laki-laki dan perempuan terpisah.

Di kampusku satu manajemen dengan pesantren. Peraturannya sama dilarang besosialisasi akrab dengan lawan jenis. Komunikasi ku dengan kaum Adam hanya sebatas keperluan pesantren.

Belum pernah aku rasakan jatuh cinta a’la anak muda masa kini. Apalagi di usia 22 tahun ini aku belum pernah pacaran. Selama 22 tahun aku belum tahu itu cinta.

Cintaku dipupuk untuk mencintai Allah SWT melalui lembaran Al-Qur’an. Bentuk cinta dengan menghafal lembaran kitab. Waktuku habiskan untuk menghafal dan mentadabburi kalam ilahi. Agenda harian dan telah berlaku bertahun-tahun.

Dan entah, sejak sentuhan tak sengaja itu hatiku menjadi berdebar-debar. Apalagi sekilas aku melihat wajah laki-laki asing itu.

“Sungguh wajah yang teduh,”. Wajah yang selalu basah dengan air wudhu. Andai aku bisa bertemu lagi dengannya, sekedar melihat senyumnya. Ah!, pikiranku semakin kacau.

xxx

(Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui”). Ali Imron 29.

Surat Ali Imron ayat: 29 mengingatkanku pada masalah hatiku. Aku merasa malu pada apa yang terjadi pada hatiku sejak kejadian di toko buku kemarin. Aku yang selesai memuraja’ah surat Ali Imron tersadar dengan apa yang terjadi dengan diriku.

Aku akui setiap kali teringat kejadian itu, aku ingin bertemu laki-laki itu lagi. Apa ini cinta? Apa mungkin ini cinta pada pandangan pertama? Ah! Aku bingung. Aku banyak membaca sholawat agar Allah SWT melimpahkan ketenangan hati.

“Ping!”

BBM hpku bedering. Aku tutup lembaran mushaf. Tanganku meraih hp.

“Sabtu Abah dan Pak De mu jemput kamu di pondok. Kamu siap-siap ya. Kita pulang ke rumah”.
” Nggih abah”.

Pesan dari abah menyadarkanku hari pertunanganku dengan Aziz tinggal dua hari lagi. Aku berusaha tawakal kepada Allah SWT. Biarlah Allah SWT yang menentukan jalan cintaku. Aku usap air mata yang menetes dari mataku. Suatu kesedihan yang tak bisa ku jelaskan.

Bila memikirkan itu tiba-tiba kepalaku pusing. Aku pikir ini efek dari bangun pagi. Aku keseringan bangun pukul 02.00 pagi untuk.sholat lail dan sisanya memuraja’ah hafalan sampai Shubuh. Tapi sejak dua minggu ini aku sering ketiduran saat hafalan. Aku sering merasa ngantuk dan kepalaku sering pusing.

“Ping!”

Sebuah pesan BBM mengaburkan lamunanku. Aku raih Hp yang sedari tadi berada di atas meja belajarku.

“Barokallah..Dev, berkas administrasi kita sudah diterima kampus. Siapkan dirimu!! kawan, ini langkah kita mewujudkan mimipi menjadi doctor. Seperti cita-cita kita dulu”, pesan Aira padaku.

Aku mengetik sesuatu lalu ku hapus lagi. Rasa bahagia sekaligus sedih. Karena mungkin S2-ku akan ku korbankan demi patuh pada orang tua. Ku biarkan layar message putih.

Tanpa balasan ketikan. Hanya ada kursor yang berkedip-kedip menanti untaian huruf dari jariku. Akhirnya aku rebah pada bantalku. Hingga terlelap.

xxx

“Biar kita barengan saja Dev, kamu kelihatan pucat. keluarnya sekalian aku lewat nasi padang nanti”, kata Mia teman pondokku.

“Tidak apa-apa Mba Mia. Mobil Abah sebentar lagi sampai. Abah sudah pesan belikan nasi padang. Devi sehat kok “, yakinku mengepalkan tangan ke atas.

Aku buru-buru mengayuh sepeda ke warung nasi padang. Kebetulan lokasi warung dekat toko buku di perempatan jalan. Ah! Kenapa juga dengan toko buku di perempatan jalan. Biasa saja Devi jangan baper!

Sekitar dua puluh menit aku sampai di warung. Aku parkir sepeda dan masuk ke warung. Setelahnya aku berniat pulang. Tubuhku mematung sejenak. Bagai dihipnotis tatapanku tertuju ke toko buku seberang. Aku menanti dia muncul dari toko buku.

“Kring..!”

Secepat kilat aku mengangkat panggilan hpku. Panggilan dari abah.

“Waalaykumsalam abah, iya abah Devi sudah membeli nasinya. Abah tunggu dulu di situ. Devi segera ke pondok”.

Aku bergegas ke pondok. Ku kayuh sepedaku sekuat tenaga. Di tengah jalan ku rasa sangat lelah. Tenagaku terkuras. Roda sepedaku bergoyang. Konsentrasiku buyar. Di persimpangan jalan sebuah sedan melaju ke arahku.

“Ya, Allah..Astaghfirlah..Ya.. Allah..selamatkan ham..”.

Tiga boks nasi padang jatuh terlindas ban mobil. Tubuhku pun jaruh menghantam aspal. Sekilas ku lihat darah mengalir dari mulutku. Darah itu membasahi jilbab putihku.

xxx

Kata orang cintailah cintamu sebelum cintamu pergi. Tapi cinta sejati tidak akan pergi. Aku tidak mencintai sesuatu yang temporal. Sejak masa anak-anak, abah telah mengenalkan pada Al-Qur’an. Al-Qur’an cinta pertamaku.

Setiap fajar menyingsing menjadi saksi bisu, ketika aku mengulang-ulang hafalan. Hafalanku tentang Surat An Nisa yang akan ku setorkan tiba-tiba muncul.

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).

Ayat itu kini terlihat jelas di mataku. Selain itu semuanya serba putih. Aku melihat detil hafalanku. Sungguh belum pernah kurasakan nikmatnya membaca Al-Qur’an seperti ini. Beginikah cinta sesungguhnya? Ketika aku menghafal Kalam-Mu.

Cilacap, 15 Maret 2017

Winda Efanur FS, Penulis lepas. Menulis tulisan genre fiksi dan non fiksi. Di samping menulis Kesehariannya dihabiskan dengan menimba ilmu di salah satu Pondok Pesantren Rubat Mbalong Ell Firdaus, Kedungreja, Cilacap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *