Konsumsi Gula (Gambar: Pixabay/Silviarita)
Makanan manis memang enak dan menyenangkan ketika sudah masuk mulut dan perut tentunya bagi anak-anak. Bahkan ragam dari makanan manis juga banyak jenisnya, mulai dari roti, permen, sampai manisan yang dijual di pinggiran jalan. Konsumsi gula menjadi konsumsi serapan yang disukai anak-anak selain karena rasanya memang enak tetapi juga jenis makanannya.
Namun bagi anda orang tua yang memperhatikan asupan bagi buah hatinya mungkin harus mulai berpikir lagi. Sebab makanan manis pada dasarnya bukan merupakan makanan wajib, tapi sebagai makanan sela atau camilan. Selain itu anda mungkin anda harus memperhatikan apakah anak anda mengonsumsi makanan tersebut secara berlebihan atau tidak.
Baru-baru ini peneliti dari Queensland University of Technology mengungkap bahwa terlalu banyak mengonsumsi gula tidak baik untuk masa depan anak. Kesimpulan ini didapat berdasarkan penelitian yang mereka susun dengan mengumpulkan data dari 60 negara. Data tersebut meliputi jumlah konsumsi gula pada anak-anak, remaja dan pada orang dewasa, seperti yang dikutip dari Science Daily (8/6/2021).
Konsumsi Gula Rekomendasi VS Konsumsi Gula Harian
Selama ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan rekomendasi standar baku pengonsumsian gula pada angka 25 gram per hari. Kenyataannya, konsumsi gula di setiap negara yang diteliti lebih dari jumlah tersebut.
Peneliti di negeri kangguru tersebut justru menemukan bahwa tingkat pengonsumsian gula rata-rata dari 60 negara tersebut justru di angka 100 gram per harinya. Empat kali lipat dari standar yang direkomendasikan oleh WHO.
Profesor Selena Bartlett dari Queensland University of Technology menyatakan hal tersebut dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak dalam jangka panjang. Profesor yang juga merupakan pemimpin penelitian ini juga merujuk konsumsi gula dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan obesitas pada anak-anak. Selain itu terdapat implikasi kesehatan lainnya pada anak remaja dan orang dewasa yang belum diketahui.
“Bukti terbaru menunjukkan obesitas dan perilaku impulsif yang disebabkan oleh kebiasaan makan yang buruk menyebabkan konsumsi berlebihan pada makanan olahan, tetapi efek jangka panjang ada dalam proses kognisi dan kondisi hiperaktif dari konsumsi gula yang berlebihan yang dimulai pada masa remaja tidak diketahui.” Kata profesor Selena Bartlett seperti yang dikutip dari Science Daily (8/6/2021).
Dalam kajiannya, profesor Selena Bartlett mengadakan uji coba terhadap seekor tikus yang diberi makan gula selama 12 pekan. Hasilnya tikus-tikus tersebut mengalami kelebihan berat badan, stimulasi abnormal pada saraf dan perubahan memori yang ditandai gangguan perhatian dan hiperaktivitas.
“Uji coba pada manusia perlu dilakukan tetapi ini menunjukkan hubungan antara efek jangka panjang dan konsumsi gula berlebih, dimulai saat usia muda, yang lebih sering terjadi pada diet barat dan peningkatan resiko hiperaktif dan defisit neurokognitif di masa depan.” Ujarnya.
Mengurangi Gula dapat Menekan Obesitas
Gula memang bisa mengakibatkan ketergantungan seperti kecanduan, meskipun hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Namun yang paling penting dari itu adalah bagaimana mengurangi konsumsi gula.
Dr. Arnauld Belmer menyatakan bahwa mengurangi gula dapat menurunkan tingkat obesitas meskipun tidak bisa menurunkan secara signifikan. Ia merujuk pada sebuah penelitian di tahun 1990, dimana waktu itu konsumsi gula menurun namun juga berdampak pada peningkatan obesitas setelahnya.
“Peningkatan tingkat obesitas ini diakibatkan oleh efek kelebihan dari gula yang tertunda, menunjukkan bahwa obesitas pada orang dewasa didorong pula oleh konsumsi gula yang tinggi selama rentang hidupnya.” Kata Belmer.
Ia menyarankan pengurangan sukrosa dalam gula yang terbukti dapat menurunkan ketergantungan akan gula. Hal ini juga didasari dari uji coba terhadap tikus-tikus tadi dalam uji coba penelitian ini. Tentu saja hal ini diharapkan dapat menjadi solusi sesuai rekomendasi WHO.
Kajian tersebut dituangkan dalam tulisan berjudul “Long-Term Overconsumption of Sugar Starting at Adolescence Produces Persistent Hyperactivity and Neurocognitive Deficits in Adulthood”. Penelitian ini diterbitkan oleh jurnal Frontiers in Neuroscience.
Sumber: Science Daily