Kebijakan Darah dan Besi Otto von Bismarck: Strategi untuk Menyatukan Jerman
Otto von Bismarck adalah seorang negarawan Prusia yang dikenal sebagai arsitek utama di balik penyatuan Jerman.
Kebijakan “Darah dan Besi” (Blut und Eisen) yang ia terapkan pada pertengahan abad ke-19 memainkan peran penting dalam proses ini.
Frasa “Darah dan Besi” merujuk pada pendekatan Bismarck yang tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer dan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya, terutama dalam menyatukan negara-negara Jerman di bawah kepemimpinan Prusia.
Latar Belakang Politik Jerman
Pada awal abad ke-19, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jerman terdiri dari banyak negara kecil yang terpecah-pecah, dan beberapa di antaranya termasuk dalam Konfederasi Jerman.
Konfederasi ini terdiri dari 39 negara-negara bagian yang diciptakan setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci pada tahun 1806.
Namun, entitas ini lemah dan tidak memiliki kekuatan yang nyata dalam menghadapi tantangan politik dan militer dari kekuatan besar seperti Prancis dan Austria.
Di tengah situasi ini, muncul Otto von Bismarck, yang menjadi Kanselir Prusia pada tahun 1862.
Bismarck bertekad untuk menyatukan negara-negara Jerman di bawah pimpinan Prusia, dan ia yakin bahwa pendekatan diplomasi saja tidak akan cukup untuk mencapai tujuan tersebut.
Konsep “Darah dan Besi”
Bismarck memulai kebijakan “Darah dan Besi” pada tahun 1862 dalam sebuah pidato di depan Dewan Prusia.
Dalam pidatonya, ia menekankan bahwa keputusan besar di zamannya tidak akan ditentukan oleh perdebatan parlementer atau diplomasi semata, melainkan oleh kekuatan militer dan kekerasan.
Ini menjadi prinsip yang mendasari pendekatan Bismarck dalam mencapai tujuan politiknya, termasuk penyatuan Jerman.
Bismarck percaya bahwa hanya melalui kekuatan militer yang superior dan konfrontasi bersenjata, Prusia dapat memimpin dan menyatukan wilayah-wilayah Jerman yang terpecah.
Dalam konteks ini, “darah” merujuk pada korban manusia yang akan jatuh dalam peperangan, sementara “besi” melambangkan kekuatan militer dan senjata yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Perang Schleswig: Awal Dari Penyatuan
Implementasi pertama dari kebijakan ini adalah Perang Schleswig pada tahun 1864, di mana Prusia dan Austria bersekutu melawan Denmark untuk menguasai wilayah Schleswig dan Holstein.
Konflik ini berhasil memenangkan kedua wilayah tersebut bagi aliansi Prusia-Austria, yang kemudian menjadi langkah pertama dalam proses penyatuan Jerman.
Perang Austro-Prusia: Memperkuat Dominasi Prusia
Setelah kemenangan dalam Perang Schleswig, Bismarck melihat Austria sebagai penghalang utama dalam usahanya untuk menyatukan Jerman.
Pada tahun 1866, Prusia, di bawah arahan Bismarck, berperang melawan Austria dalam Perang Austro-Prusia.
Meskipun Austria memiliki dukungan dari beberapa negara bagian Jerman lainnya, Prusia berhasil memenangkan perang ini dengan cepat dan menentukan.
Setelah kemenangan ini, Bismarck mendesak pembentukan Konfederasi Jerman Utara di bawah kepemimpinan Prusia, yang sepenuhnya mengecualikan Austria.
Perang Prancis-Prusia: Langkah Akhir Penyatuan
Langkah terakhir dalam kebijakan “Darah dan Besi” Bismarck adalah Perang Prancis-Prusia pada tahun 1870-1871.
Bismarck dengan cerdik memanipulasi insiden diplomatik, yaitu “Telegram Ems”, untuk memprovokasi Prancis agar menyatakan perang terhadap Prusia.
Perang ini berakhir dengan kemenangan besar Prusia dan sekutunya, serta penangkapan Kaisar Napoleon III dari Prancis.
Kemenangan ini tidak hanya mengokohkan kekuatan militer Prusia, tetapi juga mendorong negara-negara bagian Jerman lainnya untuk bergabung dengan Prusia dalam mendeklarasikan berdirinya Kekaisaran Jerman di Istana Versailles pada tahun 1871.
Dampak dan Warisan Kebijakan “Darah dan Besi”
Kebijakan “Darah dan Besi” Bismarck berhasil menyatukan Jerman di bawah satu kekaisaran yang kuat, dengan Wilhelm I sebagai Kaisar pertamanya.
Penyatuan ini menjadikan Jerman sebagai kekuatan besar di Eropa, dan Bismarck sendiri dianggap sebagai “Kanselir Besi” karena keberhasilannya.
Namun, warisan kebijakan ini juga membawa dampak jangka panjang yang signifikan.
Penyatuan Jerman melalui kekuatan militer menanamkan budaya politik yang mengedepankan kekuatan dan militerisme.
Ini mempengaruhi arah kebijakan Jerman hingga beberapa dekade berikutnya, termasuk dalam Perang Dunia I.
Kesimpulan
Otto von Bismarck, melalui kebijakan “Darah dan Besi”, berhasil menyatukan Jerman dengan mengandalkan kekuatan militer dan strategi diplomasi yang cerdik.
Baca Juga: Serangan Ukraina ke Kursk dan Wilayah Pendudukan Rusia
JogjaPost Jogja News Today. Presenting a variety of interesting information both local Jogja, national and even international. Follow us on Google News and other social media.