“Mas, benar ini menuju Jogja?”
“Leres buk… monggo lenggah,” timpalku dengan nada selembut-lembutnya.
Wanita yang kelihatannya sudah berumur 50-an tahun tersebut terlihat ngos-ngosan. Saya berpikir mungkin karena keliru memilih gate sehingga nampak muram sekali wajahnya.
“Mas, tadi itu saya bingung milih jalan mana, saya malah keliru masuk gate pesawat yang menuju Makassar. Untung ada sampean di sini, jadi saya bisa memastikan.”
“Oalah… njeh memang bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA) niki ageng buk. Menawi nembe ping pisan mriki mesti bingung,” sahutku sekenanya.
“Rumah Ibu di mana?”
“Kulo niki tiyang Solo mas, niki jeng manthuk anak kula meh rabi. Mas mangke menawi ten njero pesawat jejer yo”.
“Oh njeh bu, mboten nopo-nopo,” aku mengangguk dan mengiyakan semuanya, tak tahu nanti jadinya gimana.
Di ruang tunggu pesawat menuju Yogyakarta tersebut, saya banyak mendengar cerita. Ternyata, Ibu yang barusan berbicara denganku tadi adalah seorang TKI bernama Suparmi. Dia menjadi pembantu rumah tangga, tepatnya di daerah Ipoh, 2 jam dari bandara menggunakan mobil.
Dia banyak bercerita tentang aktivitas kerjanya yang sangat menyenangkan, juragannya yang sangat perhatian; layaknya keluarga sendiri. Dia juga bercerita mengenai kebijakan-kebijakan antara Najib Razak dengan Mahathir.
Baginya, kepemimpinan di sebuah negara sangat mempengaruhi kehidupannya sebagai TKI pegawai rumah tangga. Di kepemimpinan sebelumnya, pemotongan pajak baik di mall ataupun di tempat-tempat belanja sangat dirasakan. Ibu tersebut menyebutnya GST.
Setelah saya ingat-ingat, memang di berbagai tempat perbelanjaan terdapat tulisan-tulisan GST disusul persen. Saya pikir itu seperti diskon, namun ternyata seperti pajak.
Dia juga banyak bercerita mengenai anjloknya rupiah. Menurutnya, hal itu bisa menjadi sebuah keberuntungan, sebab bila Ringgit Malaysia (RM) dikonversikan ke rupiah, nilainya akan jauh lebih besar.Di penghujung pembicaraan, beliau sempat bertanya kepada saya,
“Mas kerja di mana?”.
“Saya sudah lulus kuliah bu… “.
“Kerja apa?”
“Niki bu, namung dolanan komputer kemawon.”
“Wah berarti akeh duite yo, jasnya aj bagus, pasti mahal?”
“Sekedhek buk, namung cekap kagem tumbas beras lan endog setunggal”, jawabku sekenanya.
Di Dalam Pesawat
Panggilan untuk antri masuk ke dalam pesawat pun berbunyi. Saya pun menyuruh Ibu tersebut untuk antri di baris sebelah paling kanan, sesuai baris duduk pesawat.
Tak disangka, ternyata tempat duduk kami hanya berada depan belakang. Sebelum berangkat, Ibu Suparmi meminta ijin kepada pramugara untuk duduk di sampingku karena kebetulan kosong.
“Pak, saya duduk di situ ya”.
“Maaf buk, kursi merah hanya untuk yang berwarna merah ya”, balas pramugara.
Terlihat sedikit kekecewaan di wajah Ibu Parmi, namun saya sengaja pura-pura tak melihat.
Perjalanan pun dimulai, semua menjalankan tugasnya masing-masing termasuk pramugara dan pramugari. Mereka bergiliran menawarkan makanan dan minuman spesial.
“Le, mangan rung?”
“Sampun bu”, jawabku singkat.
“Sampung opoh, ora sompan-sampun nek rung mangan.”
Aku hanya bisa diam, asemmmmmm batinku.
“Pak, untuk mas itu nasi lemak satu dan minum teh tarik ya?”
Terlihat mas pramugara dan mbak pramugari mencari-cari. Nampak terheran-heran sebab memang terkesan kejadian langka. Saya pun biasa-biasa saja, terima nasinya lalu habiskan hehe…
Awan berkabut, gelap dan mendung menjadi teman yang paling asyik bila mengenang perjalanan. Sesekali debu masuk tak terlihat ke dalam mata. Entahlah, kenapa di penerbangan waktu itu benar-benar mendung menghembus butiran-butiran pasir kecil.
Jogja
Alhamdulillah, akhirnya tiba di Jogja. Kami pun mengantri untuk mengambil koper kami masing-masing.
“Mas, tolong nanti isikan formnya ya, saya khawatir tidak bisa keluar dari bandara”
“Okey”, jawabku singkat.
Kami pun pergi mengantri mengisi form yang telah disediakan. Di pertengahan, Ibu Parmi memberi uang 100.000 sebagai tanda terima kasih, katanya. Sebagai orang Jawa, saya pun berniat mengembalikannya, namun karena dipaksa untuk menerima, ya gimana lagi hehe…farah!!! Pikir-pikir bisa buat ngasih ponakan yang lainnya.
Kami pun bertemu dengan keluarga besar Ibu Suparmi yang telah menunggu sejak lama di luar bandara.
“Wah, nek aku ra nemokke anak lanang iki, mbuh pie nasibku,” begitu bicaranya keras sekali sampai orang-orang mengarahkan pandangannya ke arah kami.
Kami pun tertawa bersama ha ha ha…
Organic SEO Spesialist
Temukan saya di Channel Youtube Zamhari Official